A. Sejarah Perkembangan Keperawatan
Jiwa
a. Sejarah
keperawatan jiwa di dunia
Keperawatan jiwa mulai
berkembang di dunia pada tahun 1770. Hal ini disebabkan seiring dengan kejadian
penanganan pada orang dengan penyakit mental. Penanganan yang di lakukan pada
awal perkembangan terhadap orang dengan penyakit mental dianggap terlalu
primitif dan kejam. Adapun persepsi tentang keperawatan jiwa di mulai dari masa
peradaban sampai sekarang.
1. Zaman
mesir kuno
Pada zaman ini,
gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya roh jahat yang bersarang di
otak. Banyak cara yang dilakukan untuk mengusir roh tersebut agar penderita
sembuh. Salah satunya dengan membuat lubang pada tengkorak kepala untuk
mengeluarkan roh jahat yang bersarang di otak tersebut, terbukti dengan
ditemukannya lubang di kepala orang yang pernah mengalami gangguan jiwa, adanya
prasasti mesir kuno yang bertuliskan nama orang yang dimasuki roh jahat dan
telah dilubangi kepalanya. Tahun berikutnya penanganan di lakukan lebih kejam
lagi, seperti dibakar, dipukuli, diceburkan dalam air yang dingin atau pemberian
syok terapi dengan harapan agar gangguannya menghilang.
2. Zaman
yunani
Pada zaman ini,
gangguan jiwa sudah dianggap suatu penyakit. Para leluhur yunani percaya bahwa
gangguan emosional diakibatkan karna tidak berfungsinya organ pada otak. Upaya pengobatannya
dilakukan oleh dokter , walaupun sebagian orang masih ada yang berdoa untuk
mengeluarkan roh jahat. Mereka menggunakan pendekatan tindakan seperti :
ketenangan, gizi yang baik, kebersihan badan yang baik, musik dan aktivitas
rekreasi.
Selama abad 7 sebelum
masehi, hypocrates menjelaskan perubahan prilaku dan gangguan mental disebabkan
oleh perubahan 4 cairan hormon yang dapat menghasilkan panas, dingin, kering
dan kelembaban. Seorang dokter yunani yang bernama Galen menegaskan bahwa emosi
atau kerusakan mental di hubungkan dengan otak.
Pada zaman ini, orang
yunani menjadikan kuil sebagai rumah sakit jiwa dan menyediakan lingkungan
udara bersih, sinar matahari dan air yang bersih, melakukan aktivitas bersepeda
dan mendengarkan suara air terjun sebagai contoh penyembuhan penyakit jiwa.
Namun, rumah sakit jiwa lebih banyak digunakan sebagai tempat penampungan orang
gangguan jiwa yang miskin, sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok.
Sementara orang kaya yang mangalami gangguan jiwa dirawat di rumah sendiri.
Pada tahun 1841,
Dorothea Line Dick melihat keadaan perawatan gangguan jiwa. Ia tersentuh
hatinya, sehingga berusaha memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa. Bersamaan
dengan itu, Herophillus dan Erasistratus meriset gagasan yang dikemukakan oleh dokter
Galen tentang hubungan emosional dengan otak. Mereka memikirkan apa yang
sebenarnya ada dalam otak, sehingga mereka mempelajari anatomi otak pada
binatang. Kurang puas hanya mempelajari otak, sehingga mereka berusaha
mempelajari seluruh sistem tubuh hewan.
3. Zaman
vesalius
Vesalius tidak yakin
hanya dengan mempelajari anatomi hewan saja, sehingga ia ingin mempelajari otak
dan sistem tubuh manusia. Namun, membelah kepala manusia untuk dipelajari
merupakan hal yang mustahil, apalagi mempelajari seluruh sistem tubuh manusia.
Akhirnya, ia berusaha mencuri mayat manusia untuk dipelajari. Sayangnya
kegiatannya tersebut diketahui masyarakat, sehingga ia ditangkap, diadili, dan
diancam hukuman mati (pancung). Namun, ia bisa membuktikan bahwa kegiatannya
itu untuk kepentingan keilmuan, maka akhirnya ia dibebaskan. Versailus bahkan
mendapat penghargaan karena bisa menunjukkan adanya perbedaan antara manusia
dan binatang. Sejak saat itu dapat diterima bahwa gangguan jiwa adalah suatu
penyakit. Namun kenyatannya, pelayanan di rumah sakit jiwa tidak pernah
berubah. Orang yang mengalami gangguan jiwa dirantai, karena petugasnya
khawatir dengan keadaan pasien.
4. Masa
pertengahan dan zaman revolusi prancis I
Setelah gangguan jiwa
dinyatakan sebagai penyakit pada zaman vesalius. Pada era ini disebut juga era
alienation, social exclusion, confinement. Para dokter menjelaskan gejala yang
sering terjadi seperti : Depression, Paranoid, Delusions, Hysteris, Nightmares.
Pembentukan rumah sakit jiwa pertama terjadi pada masa ini yaitu di england
dengan nama Bethlehem Royal Hospital. Kemudian diikuti oleh Philipe Pinel,
seorang dokter Perancis yang membuka sebuah rumah sakit untuk seorang penderita
jiwa / mental di pilih kota La Bicetre, Paris. Dia memulai dengan tindakan
kemanusiaan dan advokasi, melalui observasi perilaku, riwayat perkembangan dan
menggunakan komunikasi dengan penderita.
Phillipe Pinel, saat
itu menjabat sebagai direktur di RS Bicetri Prancis, berusaha memanfaatkan
Revolusi Prancis untuk membebaskan belenggu pada pasien gangguan jiwa. Revolusi
Prancis ini dikenal dengan revolusi humanisme dengan semboyan utamanya “Liberty,
Equality, Fraternity”. Ia meminta kepada walikota agar melepaskan belenggu
untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya, walikota menolak. Namun, Pinel
menggunakan alasan revolusi, yaitu “Jika tidak, kita harus siap diterkam
binatang buas yang berwajah manusia”. Perjuangan ini diteruskan oleh
murid-murid Pinel sampai Revolusi II. Tidak sampai disitu, muncul juga Wayer
sebagai dokter jiwa pertama di jerman yang bisa menjelaskan gangguan jiwa
melalui kategori diagnostiknya.
5.
Revolusi kesehatan jiwa II
Dengan diterima
gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka terjadilah perubahan orientasi pada
organo biologis. Pada saat ini, Qubius menuntut agar gangguan jiwa masuk dalam
bidang kedokteran. Oleh karena itu, ganguan jiwa dituntut mengikuti paradigma natural
sciences, yaitu ada taksonomi (penggolongan penyakit) dan nosologi (ada
tanda/gejala penyakit). Akhirnya, Emil Craepelee mampu membuat penggolongan
dari tanda-tanda gangguan jiwa. Sejak saat itu, kesehatan jiwa terus berkembang
dengan berbagai tokoh dan spesfikasinya masing-masing.
Sebut saja Bejamin Rush, dia disebut
Bapak Psikiatric Amerika. Pertama menulis buku tentang Pskiatric Amerika dan
banyak tindakan kemanusian untuk penderita penyakit mental/jiwa. Tahun 1783,
masa tindakan moral dan bekerjasama dengan rumah sakit Pennsylvania. Tahun
1843, Thomas kirkbridge memberikan pelatihan di rumah sakit Pennsylvania untuk
membantu dokter merawat pasien penyakit jiwa. Tahun 1872, New England Hospital
dibuka untuk perempuan & anak, dan Women’s Hospital di Philadelphia
mendirikan sekolah perawat, tetapi tidak untuk pelayan pskiatrik. Setelah itu
Dorothea Lynde Dix, seorang pengajar yang memberikan contoh penderita penyakit
jiwa.
Tahun 1882 Pendidikan keperawatan
jiwa pertama di McLean Hospital di Belmont, Massachusetts. Dan Tahun 1890 siswa
perawat menjadi staff keperawatan di rumah sakit jiwa. Perawat mendapat tugas
dan diharapkan mengembangkan ketrampilan dalam memberikan pengobatan melalui
asuhan keperawatan. Diakhir abad 19 mengalami perubahan atau perkembangan
menjadi cohtoh pengobatan dari perawat pskiatrik.
6. Revolusi kesehatan
jiwa III
Pada masa abad 20, perubahan
mengenai kesehatan mental sangat besar dipengaruhi oleh Clifford Beers dengan
diterbitkannya buku yang berjudul A Mind That Found Itself (1908). Dia menulis bukunya berdasarkan pengalaman dan observasi selama 3 tahun
sebagai pasien di rumah sakit jiwa. Beers menggunakan pengaruhnya untuk membentuk
National Society for Mental Hygiene tahun 1909, sekarang dikenal dengan
National Association for Mental Health. Sebagai hasilnya, banyak dibangun rumah
sakit jiwa di daerah pedesaan, dimana pasien akan mendapatkan udara segar,
sinar matahari dan lingkungan alami.
Pada tahun 1915, Linda Richards,
lulusan Perawat pertama di AS dan sering disebut sebagai perawat psikiatrik
pertama di AS, menganjurkan pelayanan yang sama terhadap pasien penyakit jiwa
dengan pasien penyakit fisik. Dia menempatkan asuhan pada pasien penyakit jiwa
memerlukan tingkat kesabaran yang tinggi dan siswa tidak terpengaruh.
Pengalaman klinik di rumah sakit jiwa memberikan kesempatan kepada siswa
perawat untuk mempunyai kemampuan tersebut. Banyak kemajuan terlihat di
National Commettee on Mental Hygiene and the American Nurses Association yang
mempromosikan pendidikan kepada pasien penyakit jiwa dengan menerbitkan
journal. Buku – buku tentang keperawatan jiwa ditulis dan dewan National
League for Nursing mendiskusikan pendidikan Diploma keperawatan psikiatrik
(1915-1935).
Pengalaman klinik di Rumah Sakit
Jiwa merupakan bagian terpenting dari dasar pengalaman siswa perawat dan sudah
distandarisasikan pada tahun 1937. Pada tahun 1939 hampir semua sekolah
perawatan memberikan pembelajaran keperawatan psikiatri untuk siswa, tetapi
belum dapat diakui sampai dengan tahun 1955. Pada tahun 1963, Gerakan Kesehatan
Mental Masyarakat mendirikan pusat kesehatan masyarakat.
Maka pada perkembangan
berikutnya dikembangkanlah basis komunitas (community base) dengan
adanya upaya pusat kesehatan mental komunitas (community mental health
centre) yang dipelopori oleh J.F. Kennedy. Pada saat inilah disebut
revolusi kesehatan jiwa III.
b.
Sejarah keperawatan jiwa di indonesia
Di Indonesia sejak dulu sudah
dikenal adanya gangguan jiea, misalnya dalam cerita Mahabrata dan Ramayana
dikenal adanya “Srikandi Edan”, Gatot Gaca Gandrung”. Bagaimana para penderita
gangguan jiwa diperalakukan pada zaman dahulu kala di Indonesia tidak diketahui
dengan jelas. Bila beberapa tindakan terhadap penderita gangguan jiwa sekarang
dianggap sebagai warisan dari nenek moyang kita, maka kita dapat membayangkan
sedikit bagaimanakah kiranya paling sedikit sebagian dari jumlah penderita
gangguan jiwa itu ditangani pada jaman dulu. Adapun tindakan yang dimaksud
adalah dipasung, dirantai atau diikat lalu ditempatkan tersendiri di rumah atau
di hutan (bila sifat gangguan jiwanya berat dan membahayakan). Bila tidak
berbahaya, dibiarkan berkeliaran di desa, sambil mencari makanan dan menjadi
tontonan masyarakat malahan ada kalanya diperlakukan sebagai orang sakti, Mbah Wali atau medium (perantara antara
roh dan manusia).
1.
Zaman kolonial
Sebelum ada Rumah Sakit Jiwa di
Indonesia, para ganggguan jiwa ditampung di RS sipil atau RS militer di
Jakarta, Semarang dan Surabaya. Yang ditampung pada umumnya penderita gangguan
jiwa berat. Ternyata tempat RS yang disediakan tidak cukup. Tahun 1862 pemerintah
Hindia Belanda mengadakan sensus terhadap penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa
dan Madura, hasilnya ada kira-kira 600 orang penderita gangguan jiwa di Pulau
Jawa dan Madura, 200 orang lagi di daerah-daerah lain. Keadaan demikian untuk
penguasa pada waktu itu sudah cukup alasan untuk membangun RS Jiwa. Maka pada
tanggal 1 Juli 1882, dibangun Rumah
Sakit Jiwa pertama di Bogor, kemudian berturut-turut RSJ Lawang pada 23 Juni
1902), RSJ Magelang pada tahun 1923 dan RSJ Sabang pada tahun 1927. RSJ ini tergolong
RS besar dan menampung penderita gangguan jiwa menahun yang memerlukan
perawatan lama.
Pemerintah Hindia Belanda mengenal 4
macaam tempat perawatan penderita psikistrik, yaitu:
a)
RS Jiwa (Kranzinnigengestichten)
Di Bogor, Magelang, Lawang, dan Sabang, RSJ terus
penuh, sehingga terjadi penumpukan pasien sementara, tempat tahanan sementara
kepolisian dan penjara-penjara. Maka dibangunlah “annexinrichtingen” pada RS
ysng sudah ada seperti di Semplak (Bogor) tahun 1931 dan Pasuruan (dekat
Lawang) tahun 1932.
b)
RS Sementara (Doorgangshuizen)
Tempat penampungan sementara bagi pasien psikotik yang
dipulangkan setelah sembuh, yang perlu perawatan lebih lama dikirim ke RS Jiwa
yang didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, Palemnbang, Bali
Banjarmasin,Manado dan Medan.
c)
Rumah Perawatan (Veerplegtehuiizen)
Berfungsi sebagai RS Jiwa tetap dikepalai seorang
perawat berijazah dan dibawah pengawasan dokter umum.
d)
Koloni
Tempat penampungan pasien psikiatrik yang sudah
tenang, pasien dapt bekerja dalam bidang pertanian serta tinggal dirumah
penduduk, tuan rumah diberi uang kos, dan masih berada dibawah pengawasan.
Tempat diatas dibangun jauh dari
kota dan bersifat isolasi dengan alasan :
a. Pasien harus
keluar dari rumah dan lingkungan yang menyebabkan ia sakit, oleh sebab itu
harus dirawat disuatu tempat yang tenang, sehingga terbiasa dengan suasana
rumah sakit.
b. Menghidari
stigma (cap yang tidak baik)
2. Zaman
setelah kemerdekaan
Membawa
babak baru bagi perkembangan usaha kesahatan jiwa, Oktober 1947 Pemerintah RI
membentuk Jawatan Urusan Penyakit Jiwa, karena masih terjadi revolusi fisik
maka belum dapat bekerja dengan baik. Pada tahun 1950 pemerintah RI menugaskan
untuk melaksanakan hal-hal yang dianggap penting bagi penyelenggaraan dan
pembinaan kesehatan jiwa di Indonesia. Jawatan ini bernaung di bawah Departemen
Kesehatan; tahun 1985 diubah menjadi Urusan Penyakit Jiwa; 1960 menjadi Bagian
Kesehatan Jiwa; dan tahun 1966 menjadi Direktorat Kesehatan Jiwa yang sampai
sekarang dipimpin oleh Direktur Kesehtan Jiwa atau Kepala Direktorat Kesehatan
Jiwa.
Dengan
ditetapkannya UU Kesehatan Jiwa No. 3
Tahun 1966 oleh pemerintah, maka lebih terbuka untuk menghimpun semua potensi
guna secara bertahap melaksanakan modernisasi semua sistem rumah sakit serta
fasilitas kesehatan jiwa di Indonesia. Direktorat kesehatan jiwa mengadakan
kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah dan dengan fakultas kedokteran,
badan internasional, seminar nasional dan regional Asia serta rapat kerja
nasional serta daerah. Adanya pembinaan sistem pelaporan, tersusun PPDGJ I
tahun 1973 dan diterbitkan tahun 1975 serta integrasi dalam pelayanan kesehatan
di Puskesmas.
Pihak
swasta pun lebih memikirkan masalah kesehatan jiwa, terutama di kota-kota
besar. Di Jakarta,
kemudian di Yogyakarta dan Surabaya
serta beberapa kota lainnya didirikan sanatorium kesehatan jiwa. RSU pemerintah
dan RS ABRI menyediakan tempat tidur untuk pasien gangguan jiwa dan mendirikan
bagian psikiatri, demikia pula RS swasta seperti RS St. Carolus di Jakarta, RS
Maria (Minahasa). Di Jakarta dan Surabaya telah didirikan Pusat Kesehatan Jiwa
Masyarakat.
Dapat
disimpulkan bahwa kesehatan jiwa berkembang pesat pada Perang Dunia II karena
menggunakan pendekatan metode pelayanan
public health service. Konsekuensinya, peran perawat jiwa juga berubah dari
peran pembantu menjadi peran aktif dalam tim kesehatan, untuk mengobati
penderita gangguan jiwa. Pada masa kini, perawatan penderita gangguan jiwa
lebih difokuskan pada basis komunitas. Ini sesuai dengan hasil Konferensi
Nasional I keperawatan Jiwa (Oktober, 2004), bahwa pengobatan akan lebih
difokuskan dalam hal tindakan preventif
B.
Perspektif
Keperawatan Jiwa
Perspektif
keperawatan jiwa adalah pandangan dasar tentang hakikat manusia dan esensi
keperawatan yang menjadi kerangka dasar dalam praktik keperawatan jiwa. Setiap
individu memiliki harkat dan martabat, sehingga masing masing individu perlu
dihargai. Tujuan individu meliputi : tumbuh, sehat, otonomi dan aktualisasi
diri. Masing masing individu berpotensi untuk berubah, karena kita tahu bahwa
manusia adalah makhluk holistik yang kebutuhannya berbeda. Semua prilaku
individu itu bermakna meliputi : pikiran, persepsi, perasaan dan tindakan.
Beberapa
keyakinan mendasar yang digunakan dalam keperawatan jiwa antara lain sebagai
berikut (Depkes RI, 1998).
a. Individu
memiliki harkat dan martabat, sehingga setiap individu perlu dihargai.
b. Tujuan
individu meliputi tumbuh, sehat, otonomi, dan aktualisasi diri.
c. Setiap
individu mempunyai potensi untuk berubah.
d. Manusia
adalah makhluk holistik yang berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan
sebagai manusia yang utuh.
e. Setiap
orang memiliki kebutuhan dasar yang sama.
f. Semua
perilaku individu adalah bermakna.
g. Perilaku
individu meliputi persepsi, pikiran, perasaan, dan tindakan.
h. Individu
memiliki kapasitas koping yang bervariasi, yang dipengaruhi oleh kondisi
genetik, lingkungan, kondisi stres, dan sumber yang tersedia.
i.
Sakit dapat menumbuhkan dan
mengembangkan psikologis bagi individu.
j.
Setiap orang mempunyai hak mendapatkan
pelayanan kesehatan yang sama.
k. Kesehatan
mental adalah komponen kritis dan penting dari pelayanan kesehatan yang
komprehensif.
l.
Individu mempunyai hak untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan untuk kesehatan fisik dan mentalnya.
m. Tujuan
keperawatan adalah meningkatkan kesejahteraan, memaksimalkan fungsi
(meminimalkan kecacatan/ketidakmampuan), dan meningkatkan aktualisasi diri.
n. Hubungan
interpersonal dapat menghasilkan perubahan dan pertumbuhan pada individu.
C. Isu tentang Keperawatan Jiwa
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah yang sedang hangat dibicarakan dan
dianggap penting. Masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak
besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional mapun global. Ada beberapa trend penting yang
menjadi perhatian terhadap keperawatan jiwa diantaranya :
1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Di Indonesia
banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang melihat
fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini, bicara
tentang kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi, malahan harus dimulai
dari masa pra nikah. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan
dengan kesehatan mental dan fisik seseorang dimasa yang akan datang, diantaranya :
·
Van de carr (1979) menemukan bahwa seorang
pemusik yang hebat terlahir dari seorang ayah yang menggeluti musik juga, pola
polanya sudah dipelajari bayi dalam kandungan pada saat bayi belum lahir karna
sudah terpapar suara komposisi musik.
·
Marc lehrer, seorang ahli dari university of
california menemukan bahwa 3000 bayi yang diteliti dengan diberi stimulus dini
berupa suara, musik cahaya dan getaran, ternyata setelah dewasa memiliki
perkembangan fisik, mental dan emosi yang lebih baik.
·
Mednick (1988) melaporkan penemuan yang
menarik tentang hubungan skizofernia dengan infeksi virus dalam kandungan. Kita
tahu bahwa skizofernia dianggap sebagai penyakit kronis yang tidak bisa
disembuhkan. Anggapan tersebut keliru, skizofernia dapat disembuhkan dan dapat
dideteksi saat dini. Mednick membuktikan bahwa seseorang yang terkena suatu
wabah penyakit pada trimester kedua dalam kandungan mempunyai resiko lebih
tinggi untuk menderita skizofernia.
2. Trend peningkatan masalah kesehatan
jiwa
Masalah
kesehatan jiwa akan meningkat di era globalisasi, sudah terbukti dua tahun
terakhir dari data
yang diterima menunjukkan bahwa penderita gangguan jwa meningkat tiap tahunnya, hal ini dikarenakan beban hidup yang semakin berat. Klien gangguan jiwa tidak lagi
didominasi kalangan bawah tetapi kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta dan
kalangan professional. Penyebab dikalangan menengah ke atas sebagian besar akibat tidak mampu
mengelola stress dan ada juga akibat post power syndrome atau mutasi jabatan.
3. Kecenderungan faktor penyebab
gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, dan
lilitan ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu pemicu yang memunculkan
stress, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut Aris Sudiyanto (guru besar ilmu
kedokteran jiwa universitas sebelas maret), ada tiga golongan penyebab dari
gangguan jiwa ini.
·
Gangguan
fisik, biologis dan organik. Penyebabnya adalah faktor keturunan, kelainan pada
otak, penyakit infeksi, kecanduan alkohol dan lain lain.
·
Gangguan
mental, emosional dan kejiwaan. Penyebabnya adalah salahnya pola pengasuhan
hubungan patologis diantara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik dan
tekanan krisis.
·
Gangguan
sosial atau lingkungan. Penyebabnya berupa stressor psikososial (perkawinan,
problem orang tua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah,
keuangan, perkembangan diri dan lain lain).
4. Kecenderungan
situasi di era globalisasi
Perkembangan
IPTEK yangg begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri globalisasi, akan
berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut mampu memberikan
askep yang profesional dan dapat mempertanggung jawabkan secara ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang keperawatan khususnya keperawatan
jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan pemanfaatan teknologi
komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.
5. Globalisasi
dan perubahan orientasi sehat
Pengaruh
globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesesehatan termasuk keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan
penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas. Tenaga kesehatan terutama perawat jiwa harus mempunyai standar global dalam memberikan
pelayanan kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan. Fenomena
masalah kesehatan jiwa, indikator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan
lagi masalah klinis seperti prevalensi
gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit, melainkan pada peningkatan kualitas
hidup. Jadi konsep kesehatan jiwa bukan lagi sehat atau sakit, tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku
dan kemampuan fungsi social.
Paradigma
sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif
untuk pencegahan daripada menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih kepada pencegahan (preventif) dan
promotif. Penangan kesehatan jiwa bergeser
dari hospital base menjadi
community base.
6. Kecendrungan
penyakit
Tahun 2020
diseluruh dunia akan terjadi pergeseran penyakit, dimana penyakit infeksi akan
dapat dikendalikan, AIDS akan terus menjadi masalah utama. Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “ The
Global Burdan Of Desease”, adanya indikator baru, yaitu Disabiliyty Adjusted
Life Year (DALY), diketahuilah bahwa gangguan jiwa meruapakan masalah kesehatan
utama secara internasional. Perubahan sosial
ekonomi yang cepat dan situasi sosial politik yang tidak menentu menyebabkan semakin tingginya angka
pengangguran, kemiskinan dan kejahatan, sehingga dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan dalam kehidupan.
a. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang
katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma yang umum di alami
manusia dalam kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak
mengalami stress yang demikian. Mereka menjadi manusia yang invalid dalam kondisi
kejiwaan dengan akhir menjadi tidak produktif. Trauma bukan semata mata gejala
kejiwaan yang bersifat individual, trauma muncul sebagai akibat saling
keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang
mengguncang eksistensi kejiwaan.
b. Meningkatnya Masalah psikososial
Lingkup kesehatan
jiwa sangat luas dan kompleks,
juga saling berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada UU No. 23 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu
Psikiatri, masalah kesehatan jiwa secara garis besar digolongkan menjadi :
·
Masalah
perkembangan manusia yang harmonis
dan peningkatan kualitas hidup, yaitu masalah kejiwaan yang berkaitan dengan
makna dan nilai nilai kehidupan
manusia.
·
Masalah
psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul akibat terjadinya
perubahan sosial, meliputi : psikotik gelandangan, pemasungan penderita
gangguan jiwa, masalah anak jalanan, masalah anak remaja (tawuran, kenakalan), penyalaggunaan Narkotik dan psikotropik, masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual dll), tindak kekerasan sosial (kemiskinan, penelantaran tidak diberi nafkah, korban kekerasan pada anak, dll), stress pasca
trauma (ansietas, gangguan emosional, berulang kali merasakan kembali suatu
pengalaman traumatik, bencana alam, ledakan, kekerasan, penyerangan/
penganiayaan fisik/ seksual, termasuk pemerkosaan, terorisme, dll), migrasi ( masalah psikis/ kejiwaan akibat perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress pasca trauma, dll), masalah usia lanjut yang terisolasi, masalah kesehatan tenaga kerja di tempat kerja (penurunan produktivitas,
stress di tempat kerja, dll)
c. Trend Bunuh Diri pada Anak dan
Remaja
Bunuh diri
merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam, angka kejadian terus
meningkat. Metode yang paling disukai seperti menggunakan
pistol, menggantung diri dan minum racun. Keberhasilan bunuh diri
pada pria lebih banyak 3 x dari wanita. Bunuh diri merupakan suatu tindakan mencabut nyawa sendiri dengan sengaja (jalan pintas yang
dikutuk Tuhan). Latar
belakang terjadinya
bunuh diri beragam seperti asmara,
pekerjaan, problem rumah tangga dan ekonomi.
d. Masalah Napza dan HIV/ AIDS
Sangat
berkaitan dan merupakan dampak dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Di negara kita yg mendukung merebaknya Napza adalah
perangkat hukum yg lemah. Seiring dengan merebaknya pemakaian Napza
adalah pertumbuhan HIV/ AIDS, ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya
peradaban. Khususnya tenaga kesehatan harus berpartispasi
dalam upaya pencegahan dan penatalaksanaan masalah Napza.
e. Paterrn of Parenting dalam Kep. Jiwa
Dengan banyaknya kasus bunuh diri dan depresi pada anak, maka pola asuh keluarga kembali menjadi sorotan. Pola asuh yang baik adalah pola asuh dimana orang tua menerapkan kehangatan yang tinggi
disertai dengan kontrol yang tinggi. Kehangatan yang dimaksud adalah bagaimana orang tua menjadi teman curhat, teman bermain, teman yang menyenangkan bagi anak terutama
saat rekreasi, belajar dan berkomunikasi. Orang tua menjadi teman dalam ekspresi feeling anak
sehingga anak menjadi sehat jiwanya. Kontrol yang tinggi dengan cara anak dilatih mandiri dan mengenal disiplin di rumahnya. Kemandirian menjadi hal yang sangat penting dalam
kesehatan jiwa, karena akan memiliki self confidence yang cukup.
f. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan
Pengangguran
telah menyebabkan rakyat indonesia semakin terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan
rendah, lingkungan buruk, kurang gizi, mudah teragitasi, kekebalan menurun dan
infrastruktur yang masih rendah menyebabkan banyak rakyat mengalami gangguan jiwa. Masalah ekonomi paling dominan mjd pencetus gangguan jiwa di Indonesia.